Selasa, 30 Juli 2013

Paradigma Klasik: Pembunuh Karakter di Era Globalisasi

Modernisasi adalah kata yang sangat membudaya dan tidak asing ditelinga kita, yang kemudian melahirkan prilaku dan gaya hidup modern pula. Hanya saja, budaya tersebut tidak berlaku bagi masyarakat pedalaman di Indonesia, salah satunya pulau Madura. Dimana sebagian daerahnya Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001 Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep, yang jauh tertinggal dari kota-kota lain. Melihat letak georafisnya, tidak seperti daerah masyarakat primtif yang ada dipedalaman Papua dan Sumatra. Hal itu bisa dilihat dari dua sektor yang sampai saat ini masih menjadi patologi dalam kehidupan masyarakat Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001 seiring perkembangan zaman yang bernama modernisasi yang berbungkus globalisasi.
Adapun sektor yang jauh tertinggal dari kota-kota lain, dan mudah kita lihat. Pertama, sektor ekonomi, banyaknya pengemis dengan berbagai motif, masyarakat perantau, dan masih banyak lagi pemuda yang mennjadi pengamen. Hal ini menunjukkan, bahwa ekonomi masyarakat Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001 masih lemah. Berbeda dengan kota-kota lain, salah satunya kabupaten Jember, yang dapat dijadikan perbandingan. Dimana dengan kondisi georafis sangat mendukung, sehingga sebagian besar penduduknya adalah agraris. Dan untuk kalangan pemuda, yang rata-rata minimal lulus SMA/SMU/SMK/MA, setidaknya mereka punya orientasi bekerja pada umumnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Bagaiamna dengan Madura sendiri?, Disana terhamapar laut yang luas dan hasil laut yang melimpah hanya saja orang yang mampu menekuni, masih banyak dilakukan oleh masyarakat pantai. Dan Madura menempati posisi ke-7 hasil buminya, karena hamapran tersebut mengandung material minyak mentah. Kedua, sektor pendidikan, memang tidak dapat dipungkiri mayoritas penduduknya mengenyam pendidikan disekolah diniyah dan dipesantren yang ditanamkan sejak dini. Akan tetapi jika hanya sebatas itu, apakah mampu menjawab tantangan zaman seperti sekrang? Dengan kondisi yang telah dijelaskan diatas, hal ini paling memprihatinkan sebagai contoh adalah dusun Batu Jaran Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001 RW/RT 001/001 hingga pada tahun 2013 berkisar ± 10 orang yang mengenyam pendidikan diperguruan tinggi, yang sarjana masih 3 orang, paling banyak lulusan sekolah dasar dan rata-rata mereka menganggur. Kondisi tersebut setidaknya menjadi gambaran wajah pendidikan masyarakat Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001.
Dua sektor tersebut saling ketergantungan, logikanya kemajuan ekonomi tanpa ditopang oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik, maka tidak akan berjalan secara maksimal. Sehingga akhirnya berjalan apa adanya, tidak ada perubahan yang signifikan. Maka dari itu, dua persoalan tersebut, yang dinilai sangat vital bagi masyarakat Madura, khususnya masyarakat Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001, Kabupaten Sumenep, dipengaruhi oleh paradigma klasik yang sampai saat ini masih menjadi patologi sosial.
Patologi yang menimpa masyarakat tersebut adalah, dimana sampai saat ini – era modernisasi – masih menjadi paradigma klasik. Hal ini banyak terjadi pada mayoritas keluarga, terutama keluarga yang mempunyai anak perempuan. Mereka beranggapan, bahwa (1) seorang perempuan sekolah tinggi tidak akan menjadi apa, dan berasumsi perempuan itu hidupnya “dapur, sumur dan kasur”, paradigma seperti ini yang menjatuhkan martabat perempuan; (2) menjadi kehormatan tersendiri bagi sebuah keluarga, apabila anak perempuannya ada yang meminang. Karena jika ada seorang perempun yang belum mempunyai pasangan atau belum ada yang meminang, dianggap aib bagi keluarga tersebut; (3) menjalin ikatan keluarga merupakan kebahagiaan tersendiri. Walaupun kondisi antara kedua pihak, adalah sama-sama dalam kondisi ekonomi bawah. Maka yang terjadi, kebutuhan hidup masih dipikul oleh kedua pihak tersebut. berbeda dengan dijawa, yang lebih menuntut apabila seorang laki-laki ingin menikah harus matang luar dalam, setidaknya mempunyai pengahsilan. Kondisi ini samapai sekrang masih berlanjut; (4) ketika sudah merajut pernikahan, yang juga tidak dipikrikan secara matang, adalah banyakanya produksi anak yang tidak disesuaikan dengan kondisi kemampuan eknominya. Pada akhirnya, berdalih tidak punya kemampuan untuk menyekolahkan anaknya. Kebanyakan dari mereka beranggapan “ banyak anak banyak rejeki ”, namun fakta dilapangan tidak sesuai dengan slogan itu. Sehinngga kondisi klasik seperti mengemis, mengamen dan mernatau dirasakan oleh generasi berikutnya. Dan yang tidak asing dalam proses menjalin tali kekeluargaa, tidak melihat siapa lelaki yang ingin dijadikan pasangan untuk anak perempuannya. Ini kontras sekali dengan kondisi masyarakat jawa, salah satunya kota Jember, seorang lelaki, setidaknya mempunyai ekonomi yang baik. Walau kebanyakan menginginkan harus matang luar dalam – antara taraf pendidikan dan ekonominya harus seimbang –, di Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001 sendiri sangat jarang dilakukan oleh keluarga-keluarga didesa tersebut. Kambali, sudah bisa dipastikan, tidak bisa berbuat banyak, karena dipetik sebelum matang.
Kondisi keluarga yang mempunyai anak perempuan tersebut mempunyai dampak yang sangat signifikan. (1) dampak psikologis khususnya kaum perempuan sendiri, salah satu contoh yang seharusnya tidak boleh terjadi, seorang perempuan yang baru lulus sekolah dasar, sudah menimang anak, hal ini menjadi gambaran (a) perempuan tidak bisa berbuat apa dan punya obsesi yang baik (b) kehormatan adalah harga mati bagi keluarga yang mempunyai anak perempuan. Dari kasus tersebut, cukup menjadi gambaran, bahwa dalam keluarga tersebut pendidikannya lemah. Sehingga, hak dan cita-cita khusunya dan mayoritas adalah anak perempuan terpasung oleh paradigma klasik tersebut. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 80-an, yang kebanyakan anak perempuan nikah diusia dini. Secara tidak langsung dan mungkin menjadi rahasia, anak perempuan meneutup diri, ketika melihat seumurannya masih asyik bersekolah, bermain, bergaul, dan berkarya. (2) beban ekonomi. Karena, berkarya dan berkarir umunya lahir dari proses pendidikan itu. Akhirnya yang menjadi alternatif untuk menjaga stablitas hidup, adalah bergantung. Pertama, yang kebetulan sudah berkeluaraga, mayoritas masih menjadi beban keluarga kedua pihak dengan dalih biar kehidupan cucunya tercukupi dengan baik. Kedua, pilihannya antara mengamen dan mengemis, hal tersebut merupaka alternatif terakhir bagi yang kondisi ekonominya tidak memungkinkan untuk merantau. Dan ini dilakukan oleh kebanyakan orang yang fisiknya masih mampu bekerja dengan baik. Kondisi semakin hari semakin memprihatinkan jika tidak ada pemutusan generasi.
Dari deskripsi persoalan diatas, yang menimpa Desa Pragaan Daya Dusun Batu Jaran RW/001 RT/001, bisa diambil kesimpulan. Pertama, kondisi pendidikan sangat rendah dan lemah, karena masyarakatnya berasumsi sekolah tinggi tidak membuat seseorang kaya, yang smapai saat ini menjadi paradigma. Kedua, kondisi ikatan atar keluarga tidak tersentuh hukum, dan hal ini dalam satu dekade ini belum ada tindakan tegas, selain dari tabunya masyarakat tentang hukum juga aparat Desa yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk menegakkan hukum tersebut. Dalam undang-undang diatur dengan jelas, tentang pernikahan dan pendidikan, dan sebagai bangsa berhak mendapatkan perlindunngan hukum.
Agar kondisi tersebut tidak membudaya dengan paradigma klasiknya, maka untuk melindungi anak, Pertama, ada lembaga hukum yang mampu mengayomi kondisi tersebut, khususnya pada anak yang seharusnya tidak berada dalam pradigma nenek moyangnya. Kedua, peran orang tua terhadap anak, diperlukan penyuluahan yang mampu mengentaskan ketabuhan masyarat desa tersebut, yang dengan ketabuhannya pada akhirnya anak menjadi korban – terpasung oleh paradigma klasik– di era yang seharusnya menjadi era anak lebih mempunyai daya saing disaat zaman menjadi ajang kompetisi. Ketiga, pemutusan generasi yang akhirnya menjadi pengemis. Keempat, menyediakan sanggar bagi pengamen-pemgamen.